Kamis, 11 September 2014







Visi:
Mewujudkan Insan SD Negeri 4 Cililin yang “SETIA
“Santun, Elegan, Terampil, Imtaq, dan Antusias”
Misi :
1.    Mewujudkan peserta didik yang memiliki integritas, etika, tatakrama dan budaya Indonesia.
2.    Mewujudkan peserta didik yang rapi dalam berpakaian, luwes dalam bersikap, dan elok dalam bertindak.
3.    Mewujudkan peserta didik yang cakap dalam bertugas dan bertanggungjawab, serta cekatan dalam berkarya.
4.    Mewujudkan peningkatan kwalitas peserta didik dalam bidang akademik maupun non akademik dengan dilandasi Imtaq.

5.    Mewujudkan peserta didik yang mampu dan siap menghadapi tantangan dengan daya juang yang tangguh.

Kelemahan dan Keunggulan Kurikulum 2013

Bagi para pengajar tentunya system pendidikan baru menjadi tantangan tersendiri pada proses penerapannya. System yang baru terkadang memang rawan dengan kekurangan meskipun memiliki banyak keunggulan. Model pendidikan di Indonesia memang kerap berganti-ganti, seolah menjadi uji coba bagi keberhasilan pihak penguasa. Pihak yang harus cerdas dalam mensiasatinya tentu saja adalah kalangan pendidik. Kalangan siswa harus bisa menyesuaikan dengan segala perubahan yang terjadi.

kelemahan-dan-kekurangan-kurikulum-2013
Kurikulum 2013 sering disebut juga dengan kurikulum berbasis karakter. Apa itu kurikulum 2013?. Kurikulum ini merupakan kurikulum baru yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kurikulum 2013 sendiri merupakan sebuah kurikulum yang mengutamakan pada pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter, dimana siswa dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam proses berdiskusi dan presentasi serta memiliki sopan santun dan sikpa disiplin yang tinggi. Kurikulum ini secara resmi menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang sudah diterapkan sejak 2006 lalu. 
Secara umum kurikulum 2013 menyisakan berbagai kekurangan, diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Kurikulum 2013 tersebut bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 yang berisi tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini karena penekanan pengembangan kurikulum hanya didasarkan pada aspek orientasi pragmatis. Selain itu, kurikulum 2013 sendiri tidak didasarkan pada aspek evaluasi dari pelaksanaan system Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tahun 2006 sehingga dalam pelaksanaannya bisa aja smembingungkan guru dan pemangku pendidikan.
  2. Guru sebagai elemen penting juga tidak pernah dilibatkan langsung dalam proses upaya pengembangan kurikulum 2013. Pemerintah justru melihat seolah-olah guru dan siswa tersebut mempunyai kapasitas yang sama.
  3. Tidak adanya keseimbangan antara orientasi dari proses pembelajaran dengan hasil dalam kurikulum 2013 itu sendiri. Keseimbangan sulit dicapai karena kebijakan pada ujian nasional (UN) masih juga diberlakukan. UN hanya mampu mendorong orientasi pendidikan pada hasil dan justru sama sekali tidak memperhatikan proses upaya pembelajaran. Hal ini akan berdampak pada dikesampingkannya subjek mata pelajaran yang tidak diujikan dalam UN tersebut. Padahal, mata pelajaran non-UN juga mampu memberikan kontribusi yang besar untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
  4. Pemerintah mengintegrasikan subjek mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) terhadap Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk level jenjang pendidikan dasar. 

Bagaimana dengan keunggulan dari Kurikulum 2013 sendiri? Keunggulannya jelas mendorong pada aspek kreatifitas dan inovasi pada anak didik sebagai upaya pengembangan karakter yang telah tertuang dalam program studi yang ada. Inilah yang dikatakan dengan pendidikan berbasis karakter. Tujuan mulia dari kurikulum pendidikan baru ini diharapkan bisa tercapai meskipun menyisakan berbagai masalah. System yang selalu berganti menyisakan berbagai hal baik negative maupun positif. Hendaknya pemerintah mampu mengambil kebijakan terbaik yang minim resiko negative.
- See more at: http://www.gubuginformasi.com/2014/04/kelemahan-dan-keunggulan-kurikulum-2013.html#sthash.C44WofSZ.dpuf

Selasa, 20 Mei 2014

MANAJEMEN SEKOLAH EFEKTIF DAN UNGGUL

MANAJEMEN SEKOLAH EFEKTIF DAN UNGGUL
Abstrak
Model penilaian sekolah efektif merupakan salah satu instrumen yang diharapkan dapat digunakan oleh pengelola pendidikan untuk mengetahui tingkat keberhasilan setiap sekolah. Hasil penilaian tersebut selanjutnya dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk melakukan upaya perbaikan sekolah. Kata kuncinya sendiri  terletak pada bagaimana upaya setiap warga sekolah dapat mendukung terwujudnya pelaksanakan pendidikan dan pembelajaran secara berkualitas melalui pemberdayaan berbagai komponen penting yang terdapat di sekolah dan di lingkungan masyarakat sekitar sekolah.
Sekolah efektif adalah sekolah yang memiliki standar pengelolaan yang baik, transparan, responsibel dan akuntabel, serta mampu memberdayakan setiap komponen penting sekolah, baik secara internal maupun eksternal, dalam rangka pencapaian visi-misi-tujuan sekolah secara efektif dan efesien
Kata Kunci: Manajemen Sekolah, Efektif dan Unggul
1.1    Latar Belakang
Keunggulan suatu bangsa tidak lagi bertumpu pada kekayaan alam, melainkan pada keunggulan sumber daya manusia (SDM), yaitu tenaga terdidik yang mampu menjawab tantangan-tantangan yang sangat cepat. Secara keseluruhan, di Indonesia  mutu SDM Indonesia saat ini masih ketinggalan dan berada di belakang SDM negara-negara maju dan negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand. Kenyataan ini sudah lebih dari cukup untuk mendorong pakar dan praktisi pendidikan melakukan kajian sistematik untuk membenahi atau memperbaiki sistem pendidikan nasional.
Agar keluaran dari sekolah mampu beradaptasi secara dinamis dengan perubahan dan tantangan tersebut, pemerintah melontarkan gagasan tentang manajemen pendidikan yang berbasis sekolah (school-based management) yang memberikan ruang yang luas bagi sekolah dan masyarakatnya untuk menentukan program dan rencana pengembangan diri sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing.
Sejalan dengan gagasan desentralisasi pengelolaan pendidikan, maka fungsi-fungsi pengelolaan sekolah perlu diberdayakan secara maksimal agar dapat berjalan secara efektif untuk menghasilkan mutu lulusan yang diharapkan oleh masyarakat dan bangsa. Hal tersebut perlu didukung oleh seperangkat instrument yang akan mendorong sekolah berupaya meningkatkan efektivitas fungsi-fungsi pengelolaannya secara terus-menerus sehingga mampu berkembang menjadi learning organization.
Melalui makalah ini kami mencoba menjelaskan untuk bisa mempelajari dan memahami tentang sekolah efektif yang merupakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan.
2.1 Pengertian Sekolah Efektif
Sekolah merupakan suatu institusi yang didalamnya terdapat komponen guru, siswa, dan staf administrasi yang masing-masing mempunyai tugas tertentu dalam melancarkan program. Sebagai institusi pendidikan formal, sekolah dituntut menghasilkan lulusan yang mempunyai kemampuan akademis tertentu, keterampilan, sikap dan mental, serta kepribadian lainnya sehingga mereka dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau bekerja pada lapangan pekerjaan yang membutuhkan keahlian dan keterampilannya. Keberhasilan sekolah merupakan ukuran bersifat mikro yang didasarkan pada tujuan dan sasaran pendidikan pada tingkat sekolah sejalan dengan tujuan pendidikan nasional serta sejauh mana tujuan itu dapat dicapai pada periode tertentu sesuai dengan lamanya pendidikan yang berlangsung di sekolah.
Berdasarkan sudut pandang keberhasilan sekolah tersebut, kemudian dikenal sekolah efektif dan efisien yang mengacu pada sejauh mana sekolah dapat mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yag telah ditetapkan. Dengan kata lain, sekolah disebut efektif jika sekolah tersebut dapat mencapai apa yang telah direncanakan. Pengertian umum sekolah efektif juga berkaitan dengan perumusan apa yang harus dikerjakan dengan apa yang telah dicapai. Sehingga suatu sekolah akan disebut efektif jika terdapat hubungan yang kuat antara apa yang telah dirumuskan untuk dikerjakan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh sekolah, sebaliknya sekolah dikatakan tidak efektif bila hubungan tersebut rendah (Getzel, 1969).
Sekolah efektif adalah sekolah yang dapat mencapai target yang telah ditetapkannya sendiri. Sekolah unggul dan efektif adalah sekolah yang dapat mencapai target dengan penetapan target yang tinggi.
Pengertian sekolah efektif menurut para ahli:
  1. Peter Mortimore (1996) : sekolah efektif dapat diartikan sebagai “A high performing school, through its well-established system promotes the highest academic and other achievements for the maximum number of students regardless of its socio-economic background of the families”.
  2. Taylor (1990) mendefinisikan sekolah efektif sebagai sekolah yang mengorgansiasikan dan memanfaatkan semua sumber daya yang dimilikinya untuk menjamin semua siswa (tanpa memandang ras, jenis kelamin maupun status sosial ekonomi) bisa mempelajari materi kurikulum yang esensial di sekolah.
  3. Cheng (1996) mendefinisikan sekolah efektif sebagai sekolah yang memiliki kemampuan dalam menjalankan fungsinya secara maksimal, baik fungsi ekonomis, fungsi sosial kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya maupun fungsi pendidikan. Fungsi ekonomis sekolah adalah memberi bekal kepada siswa agar dapat melakukan aktivitas ekonomi sehingga dapat hidup sejahtera. Fungsi social kemanusiaan adalah sekolah sebagai media bagi siswa untuk beradaptasi dengan kehidupan masyarakat. Fungsi politis sekolah adalah sebagai wahana untuk memper­oleh pengetahuan tentang hak dan kewajiban sebagai warganegara. Fungsi budaya sekolah adalah media untuk melakukan transmisi dan transformasi budaya. Adapun fungsi pendidikan adalah sekolah sebagai wahana untuk proses pendewasaan dan pembentukan kepribadian siswa.
Efektifitas sekolah menunjukkan adanya proses perekayasaan berbagai sumber dan metode yang diarahkan pada terjadinya pembelajaran di sekolah secara optimal. Efektifitas sekolah merujuk pada pemberdayaan semua komponen sekolah sebagai organisasi tempat belajar berdasarkan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dalam struktur program dengan tujuan agar siswa belajar dan mencapai hasil yang telah ditetapkan yaitu memiliki kompetensi.
Pada sekolah efektif seluruh siswa tidak hanya yang memiliki kemampuan tinggi dalam belajar tetapi juga yang memiliki kemampuan intelektualitas yang biasapun dapat mengembangkan dirinya sejauh mungkin jika dibandingkan dengan kondisi awal ketika rnereka baru memasuki sekolah.
Simpulan dari sekolah efektif yang dapat ditarik dari penjelasan-penjelasan  di  atas adalah  sekolah yang  mampu  mengoptimalkan semua masukan dan proses bagi ketercapaian output pendidikan   yaitu  prestasi  sekolah terutama  prestasi  siswa yang ditandai  dengan  dimilikinya  semua  kemampuan  berupa kompetensi yang dipersyaratkan di dalam belajar.
2.2 Konsep Sekolah Efektif
Konsep Sekolah Efektif muncul berdasarkan hasil Meta riset yang dilakukan di berbagai Negara. Riset awal membuktikan hal-hal berikut:
  1. Di Amerika Serikat, Coleman (1966) melaporkan “Siswa yang berprestasi tinggi di sekolah, melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, dan hidupnya berhasil adalah siswa yang berasal dari keluarga yang sosial ekonominya tinggi. Sedangkan siswa yang prestasinya rendah, tidak mampu belajar di sekolah, drop out, tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tidak mempunyai motivasi belajar adalah siswa yang berasal dari keluarga yang sosial ekonominya rendah.
  2. Di Inggris, ROBBINS (1962) melaporkan bahwa Hampir semua siswa yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi berasal dari keluarga yang ayahnya mempunyai profesi yang tinggi. Hanya 2% siswa yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi berasal dari keluarga yang ayahnya tidak mempunyai kecakapan atau pendidikan yang memadai.
  3. Pusat Penelitian Pengukuran dan Evaluasi NSW, (1960-1970) Australia, menyimpulkan bahwa pendapat atau pandangan orang tua tentang nilai-nilai  pendidikan sangat berpengaruh terhadap prestasi pembelajaran anak di sekolah. Berdasarkan pendapat atau pandangan orang tua tersebut, dapat diprediksi prestasi siswa di sekolah, kapan siswa drop out, dan jenis pekerjaan apa yang akan ditekuninya.
  4. Kesimpulannya, Latar belakang keluarga merupakan faktor penting yang menentukan prestasi atau keberhasilan siswa di sekolah. Apa yang dibawa siswa ke sekolah jauh lebih penting daripada proses yang terjadi di dalam sekolah. Sekolah tidak dapat membuat perubahan yang signifikan terhadap siswa.
Pada kenyataannya, ada sekolah-sekolah yang secara konsisten menghasilkan siswa-siswa berprestasi tinggi, melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan lebih berhasil hidupnya, apapun latar belakang keluarga siswa. Di Inggris, hasil penelitian Rutter (tahun 1979) melaporkan bahwa sekolah tersebut memiliki ciri-ciri : menekankan pada pembelajaran, guru merencanakan bersama dan bekerja sama dalam pelaksanaan pembelajaran, dan ada supervisi yang terarah dari guru senior dan kepala sekolah.
Di Amerika Serikat, penelitian Weber (1971), Austin (1978), Brookeover & Lezotte (1979), Edmonds & Frederickson (1979), Phi Delta Kappa (1980), secara meta analisis menyimpulkan bahwa sekolah tersebut mempunyai ciri: kepemimpinannya kuat, memiliki harapan yang tinggi bagi siswa dan guru, lingkungannya yang kondusif, kepala sekolah berperan sebagai “instructional leader”, kemajuan prestasi belajar siswa sering dimonitor, dan adanya dukungan pelibatan orang tua secara aktif. Melalui pemeliharaan mutu, responsive terhadap tantangan dan antisipatif terhadap perubahan yang diakibatkan dari berubahnya tatanan internal sehingga tidak menimbulkan keadaan bergejolak akan mendukung kemajuan sekolah. Globalisasi menuntut dunia pendidikan bersinergi dengan berbagai perubahan melalui rekayasa menejemen pendidikan dengan tetap memegang citra diri bangsa. Sekolah yang hanya memelihara keadaan stabil tanpa merespon berbagai gejolak akan berhadapan dengan keadaan yang tidak menguntungkan. Sebagai peningkatan mutu pendidikan, lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi harus melakukan berbagai penataan. Salah satu upayannya adalah pembenahan dibidang menejemen. Manajemen yang baik akan menjadikan sekolah tersebut berhasil mencapai tujuan dan sasaran pendidikan.
Berdasarkan sudut pandang keberhasilan sekolah tersebut, kemudian dikenal dengan sekolah efektif. Pengertian umum sekolah efektif juga berkaitan dengan perumusan apa yang harus dikerjakan dengan apa yang harus dicapai. Sehingga sekolah dikatakan efektif jika terdapat hubungan yang kuat antara apa yang telah dirumuskan untuk dikerjakan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh sekolah. Efektifitas adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana sasaran atau tujuan telah dicapai. Efektifitas sekolah terkait pula dengan kualitas. Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh yang menunjukan kemampuaannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat misalnya nilai hasil ujian akhir, prestasi olahraga, prestasi karya tulis ilmiah dan prestasi pentas seni. Kualitas lulusan dipengaruhi oleh tahapan-tahapan kegiatan sekolah yang saling berhubungan yaitu perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Efektifitas sekolah menunjukan adanya proses perekayasaan berbagai sumber dan metode yang diarahkan pada terjadinya pembelajaran disekolah secara optimal. Efektifitas sekolah merujuk pada pemberdayaan semua komponen sekolah sebagai organisasi tempat belajar berdasarkan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dalam struktur program dengan tujuan agar siswa belajar dan mencapai hasil yang telah ditetapkan, yaitu memiliki kompetensi. Pada sekolah efektif, semua siswa baik siswa yang mempunyai kemampuan tinggi dalam belajar, yang dapat mengembangkan diri, siswa yang memiliki kemampuan intelektualitas yang biasapun dapat mengembangkan dirinya, jika dibandingkan dengan kondisi awal ketika mereka baru memasuki sekolah.
Jadi konsep sekolah efektif adalah sekolah yang mampu mengoptimalkan semua masukan dan proses bagi ketercapaian output pendidikan, yaitu prestasi sekolah terutama prestasi siswa yang ditandai dengan dimilikinya semua kemampuan berupa kompetensi yang dipersyaratkan didalam belajar.
Esensi yang terkandung dalam bagian pendahuluan di atas adalah fungsi sekolah sebagai tempat belajar yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pengalaman pembelajaran yang bermutu bagi peserta didiknya. Esensi inilah yang menjadi misi atau tugas pokok sekolah, yang sepatutnya menjadi dasar bagi peserta didiknya dan analisis kinerja sekolah yang efektif.
Berbagai perspektif dapat dikemukakan berikut ini:
1)    Sekolah Efektif dalam Perspektif Mutu Pendidikan.
Penyelenggaraan layanan belajar bagi peserta didik biasanya dikaji dalam konteks mutu pendidikan yang erat hubungannya dengan kajian kualitas manajemen dan sekolah efektif. Di lingkungan sistem persekolahan, konsep mutu pendidikan dipersepsi berbeda-beda oleh berbagai pihak. Menurut persepsi kebanyakan orang (orang tua dan masyarakat pada umumnya), mutu pendidikan di sekolah secara sederhana dilihat dan perolehan nilai atau angka yang dicapai seperti ditunjukkan dalam hasil-hasil ulangan dan ujian. Sekolah dianggap bermutu apabila para siswanya, sebagian besar atau seluruhnya, memperoleh nilai atau angka yang tinggi, sehingga berpeluang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Persepsi tersebut tidak keliru apabila nilai atau angka tersebut diakui sebagai representasi dari totalitas hasil belajar, yang dapat dipercaya menggambarkan derajat perubahan tingkah laku atau penguasaan kemampuan yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan demikian, hasil pendidikan yang bermutu memiliki nuansa kuantitatif dan kualitatif. Artinya, di samping ditunjukkan oleh indikator seberapa banyak siswa yang berprestasi sebagaimana dilihat dalam perolehan angka atau nilai yang tinggi, juga ditunjukkan oleh seberapa baik kepemilikan kualitas pribadi para siswanya, seperti tampak dalam kepercayaan diri, kemandirian, disiplin, kerja keras dan ulet, terampil, berbudi-pekerti, beriman dan bertaqwa, tanggung jawab sosial dan kebangsaan, apresiasi, dan lain sebagainya. Analisis di atas memberikan pemahaman yang jelas bahwa konsep sekolah efektif berkaitan langsung dengan mutu kinerja sekolah.
Kemampuan umum yang dimiliki seorang anak biasanya dipergunakan sebagai prediktor untuk menjelaskan tingkat kemampuan menyelesaikan program belajar, sehingga kemampuan ini sering disebut sebagai scholastic aptitude atau potensi akademik. Seorang siswa yang memiliki potensi akademik yang tinggi diduga memiliki kemampuan yang tinggi pula untuk menyelesaikan program-program belajar atau tugas-tugas belajar pada umumnya di sekolah, dan karenanya diperhitungkan akan memperoleh prestasi yang diharapkan.
Sementara itu, kemampuan khusus atau bakat dijadikan prediktor untuk berprestasi dengan baik dalam bidang kajian khusus seperti dalam bidang karya seni, musik, akting dan sejenisnya. Atas dasar pemahaman ini, maka untuk memperoleh mutu pendidikan sekolah yang baik, para siswa yang dilayaninya harus memiliki potensi yang memadai untuk menyelesaikan program-program belajar yang dituntut oleh kurikulum sekolah. Kemampuan profesional guru direfleksikan pada mutu pengalaman pembelajaran siswa yang berinteraksi dalam kondisi proses belajar mengajar. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh:
  1. tingkat penguasaan guru terhadap bahan pelajaran dan penguasaan struktur konsep-konsep keilmuannya.
  2. metode, pendekatan, gaya atau seni dan prosedur mengajar, pemanfaatan, fasilitas belajar secara efektif dan efisien.
  3. pemahaman guru terhadap karateristik kelompok dan perorangan siswa.
    d. kemampuan guru menciptakan dialog kreatif dan menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan.
  4. kepribadian guru.
Atas dasar analisis tersebut, maka upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah harus disertai dengan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan profesional dan memperbaiki kualitas kepribadian gurunya. Pada tingkat sekolah, upaya tersebut ditunjukkan dalam kegiatan-kegiatan berikut, yaitu:
  1. interaksi kolegialitas di antara guru-guru.
  2. pemahaman proses-proses kognitif dalam penyelenggaraan pengajaran.
  3. penguasaan struktur pengetahuan mata pelajaran.
  4. pemilikan pemahaman dan penghayatan terhadap nilai, keyakinan, dan standar.
  5. keterampilan mengajar.
  6. pengetahuan bagaimana siswa belajar.
Fasilitas belajar menyangkut ketersediaan hal-hal yang dapat memberikan kemudahan bagi perolehan pengalaman belajar yang efektif dan efisien. Fasilitas belajar yang sangat penting adalah perpustakaan, komputer, dan kondisi fisik lainnya yang secara langsung mempengaruhi kenyamanan belajar.
Budaya sekolah adalah seluruh pengalaman psikologis para siswa (sosial, emosional dan intelektual) yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan sekolah. Respon psikologis keseharian siswa terhadap hal-hal seperti cara-cara guru dan personil sekolah lainnya bersikap dan berperilaku (misalnya, layanan wali kelas dan tenaga administratif), implementasi kebijakan sekolah, kondisi dan layanan warung sekolah, penataan keindahan, kebersihan dan kenyamanan kampus, semuanya membentuk budaya sekolah.
Budaya sekolah merembes pada penghayatan psikologis warga sekolah termasuk siswa, yang pada gilirannya membentuk pola nilai, sikap, kebiasaan dan perilaku. Aspek penting yang turut membentuk budaya sekolah adalah kepemimpinan sekolah. Kepemimpinan sekolah yang efektif merupakan sumber nilai dan semangat, sumber tatanan dan perilaku kelembagaan yang berorientasi ke arah dan sejalan dengan pencapaian visi dan misi sekolah.
Oleh karena itu, kepala sekolah hendaklah seseorang yang memiliki visi dan misi kelembagaan, memiliki kemampuan konseptual, memiliki keterampilan dan seni dalam hubungan antarmanusia, menguasai aspek-aspek teknis dan substantif pekerjaannya, memiliki semangat untuk maju, serta memiliki semangat mengabdi dan karakter yang diterima oleh lingkungannya.
Dari tema analisis sekolah efektif dalam perspektif mutu pendidikan dapat dikatakan bahwa sekolah yang efektif adalah sekolah yang:
  1. memiliki masukan siswa dengan potensi yang sesuai dengan tuntutan kurikulum
  2. dapat menyediakan layanan pembelajaran yang bermutu
  3. memiliki fasilitas sekolah yang menunjang efektivitas dan efesiensi kegiatan belajar mengajar
  4. memiliki kemampuan menciptakan budaya sekolah yang kondusif sebagai refleksi dari kinerja kepemimpinan profesional kepala sekolah.
2)       Sekolah Efektif dalam Perspektif Manajemen.
Manajemen sekolah merupakan proses pemanfaatan seluruh sumber daya sekolah yang dilakukan melalui tindakan yang rasional dan sistematik (mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengerahan tindakan, dan pengendalian) untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien.
Tindakan-tindakan manajemen tersebut bersumber pada kebijakan dan peraturan-peraturan yang disepakati bersama yang diwujudkan dalam bentuk sikap, nilai, dan perilaku dari seluruh orang yang terlibat di dalamnya. Tindakan-tindakan manajemen tidak berlangsung dalam satu isolasi, melainkan terjadi dalam satu keutuhan kompleksitas sistem. Apabila dilihat dalam perspektif ini, maka dimensi sekolah efektif meliputi:
  1. Layanan Belajar bagi Siswa
  2. Pengelolaan dan Layanan Siswa
  3. Sarana dan Prasarana Sekolah
  4. Program dan Pembiayaan
  5. Partisipasi Masyarakat
  6. Budaya Sekolah
3)       Sekolah Efektif dalam Perspektif Teori Organisme.
Sekolah efektif mampu mewujudkan apa yang disebut sebagai “self-renewing schools” atau “adaptive schools”, atau disebut juga sebagai “learning organization” yaitu suatu kondisi di mana kelembagaan sekolah sebagai satu identitas mampu menangani permasalahan yang dihadapinya sementara menunjukkan kapabilitasnya dalam berinovasi.
Menurut teori organisme, dunia ini bukan benda mati, melainkan merupakan suatu energi yang memiliki kapasitas berubah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam perspektif ini, maka bentuk kehidupan apa pun hanya akan mampu bertahan apabila organisme itu mampu memberikan respon yang tepat untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya.
2.3 Ciri-Ciri dan Karakteristik Sekolah Efektif
2.3.1 Ciri-ciri Sekolah Efektif
David A. Squires, et.al. (1983) ciri-ciri sekolah efektif yaitu:
  1. adanya standar disiplin yang berlaku bagi kepala sekolah, guru, siswa, dan karyawan di sekolah
  2. memiliki suatu keteraturan dalam rutinitas kegiatan di kelas;
  3. mempunyai standar prestasi sekolah yang sangat tinggi;
  4. siswa diharapkan mampu mencapai tujuan yang telah direncanakan;
  5. siswa diharapkan lulus dengan menguasai pengetahuan akademik;
  6. adanya penghargaan bagi siswa yang berprestasi;
  7. siswa berpendapat kerja keras lebih penting dari pada faktor keberuntungan dalam meraih prestasi;
  8. para siswa diharapkan mempunyai tanggung jawab yang diakui secara umum, kepala sekolah mempunyai program inservice, pengawasan, supervisi, serta menyediakan waktu untuk membuat rencana bersama-sama dengan para guru dan memungkinkan adanya umpan balik demi keberhasilan prestasi akademiknya.
Menurut Peter Mortimore (1991) sekolah efektif dicirikan sebagai berikut: (1) Sekolah memiliki visi dan misi yang jelas dan dijalankan dengan konsisten; (2) Lingkungan sekolah yang baik, dan adanya disiplin serta keteraturan di kalangan pelajar dan staf; (3) Kepemimpinan kepala sekolah yang kuat; (4) Penghargaan bagi guru dan staf serta siswa yang berprestasi; (5) Pendelegasian wewenang yang jelas; (6) Dukungan masyarakat sekitar; (7) Sekolah mempunyai rancangan program yang jelas; (8) Sekolah mempunyai fokus sistemnya tersendiri; (9) Pelajar diberi tanggung jawab; (10) Guru menerapkan strategi-strategi pembelajaran inovatif; (11) Evaluasi yang berkelanjutan; (12) Kurikulum sekolah yang terancang dan terintegrasi satu sama lain; (13) Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam membantu pendidikan anak-anaknya.
2.3.2 Karakteristik Sekolah Efektif
Shannon dan Bylsma (2005) mengidentifikasi 9 karakteristik sekolah-sekolah berpenampilan unggul (high performing schools). Untuk mewujudkannya mereka berjuang dan bekerja keras dalam waktu yang relatif lama. Kesembilan karakteristik sekolah efektif berpenampilan unggul itu meliputi:
  1. Fokus bersama dan jelas
  2. Standar dan harapan yang tinggi bagi semua siswa
  3. Kepemimpinan sekolah yang efektif
  4. Tingkat kerja sama dan komunikasi inovatif
  5. Kurikulum, pembelajaran dan evaluasi yang melampaui standar
  6. Frekuensi pemantauan terhadap belajar dan mengajar tinggi
  7. Pengembangan staf pendidik dan tenaga kependidikan yang terfokus
  8. Lingkungan yang mendukung belajar
  9. Keterlibatan yang tinggi dari keluarga dan masyarakat
Apabila dikaitkan antara semua faktor sekolah efektif tersebut, tampak nyata bahwa semua faktor tersebut dalam tulisan ini juga dikenal sebagai dimensi-dimensi mutu pendidikan. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa sekolah efektif tidak lain dan tidak bukan adalah juga sebutan untuk pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu tidak hanya prestasi siswanya mencakup keunggulan akademik, tetapi juga non-akademik seperti keberhasilan dalam olahraga dan peningkatan gairah belajar.
Karena itu, ukuran keberhasilan prestasi siswa pun bukan hanya dilihat berdasarkan hasil-hasil ujian berupa angka melainkan juga aspek-aspek non kognitif seperti kehadiran, partisipasi aktif di kelas, dan bahkan angka drop out. Dan sekolah efektif juga memerlukan dukungan orangtua dan masyarakat, yang diwadahi dalam lembaga yang dikenal dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Di Inggris, hasil penelitian Rutter (tahun 1979) melaporkan bahwa sekolah tersebut memiliki ciri-ciri: menekankan pada pembelajaran, guru merencanakan bersama dan bekerja sama dalam pelaksanaan pembelajaran, dan ada supervisi yang terarah dari guru senior dan kepsek di Amerika Serikat, penelitian Weber (1971), Austin (1978), Brookeover & Lezotte (1979), Edmonds & Frederickson (1979), Phi Delta Kappa (1980), secara meta analisis menyimpulkan bahwa sekolah tersebut mempunyai ciri: kepemimpinannya kuat, memiliki harapan yang tinggi bagi siswa dan guru, lingkungannya yang kondusif, kepala sekolah berperan sebagai ‘instructional leader’, kemajuan prestasi belajar siswa sering dimonitor, dan adanya dukungan pelibatan orang tua secara aktif.
Jaap Scheerens (1992) sekolah yang efektif mempunyai lima ciri penting yaitu:
  1. kepemimpinan yang kuat;
  2. penekanan pada pencapaian kemampuan dasar;
  3. adanya lingkungan yang nyaman;
  4. harapan yang tinggi pada prestasi siswa;
  5. dan penilaian secara rutin mengenai program yang dibuat siswa.
Mackenzie (1983) mengidentifikasikan tiga dimensi pendidikan efektif yaitu kepemimpinan, keefektifan dan efisiensi serta unsur pokok dan penunjang masing-masing dimensi tersebut.
Pengetahuan lain mengenai sekolah efektif adalah sebagai berikut:
  1. mampu mendemontrasikan kebolehannya mengenai seperangkat kriteria;
  2. menetapkan sasaran yang jelas dan upaya untuk mencapainya;
  3. adanya kepemimpinan yang kuat;
  4. adanya hubungan yang baik antara sekolah dengan orangtua siswa;dan
  5. pengembangan staf dan iklim sekolah yang kondusif untuk belajar
2.4 Kepemimpinan Sekolah Efektif
Ada empat komponen strategis dalam mencapai tujuan sekolah, yaitu:
  1. komponen program. Program yang dimaksud yakni program yang terukur dan realistis sesuai dengan dinamika regulasi dan tuntutan zaman.
  2. figure, yakni orang-orang dibalik program yang merupakan perancang sekaligus pelaku program.
  3. culture, yakni etos kerja dan komitmen terhadap tugas pokok dan fungsinya.
  4. budget, yakni berupa anggaran yang memadai dan memungkinkan tercapainya tujuan. Seperti yang dijelaskan Syafaruddin (2008: 180) bahwa sekolah efektif adalah sekolah yang skor prestasi pelajarnya tidak terlalu bervariasi dari segi status sosial-ekonomi.
Kemudian juga ada empat karakteristik sekolah efektif, yaitu:
  1. kepemimpinan kepala sekolah kuat.
  2. harapan yang tinggi terhadap prestasi pelajar.
  3.  menekankan pada keterampilan dasar.
  4. keteraturan dan atmosfer terkendali.
Kepempinan kepala sekolah yang kuat akan sangat berpengaruh pada terwujudnya sekolah yang efektif. Hal tersebut dikarenakan Kepala Sekolah merupakan salah satu figure (key person) dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan sekolah. Husaini Usman (2006: 469) berpendapat bahwa Kepala Sekolah sebagai manager di sekolah dituntut mengorganisir seluruh sumber daya sekolah menggunakan prinsip “TEAMWORK”, yang mengandung pengertian adanya rasa kebersamaan (Together), pandai merasakan (Empathy), saling membantu (Assist), saling penuh kedewasaan (Maturity), saling mematuhi (Willingness), saling teratur (Organization), saling menghormati (Respect), dan saling berbaik hati (Kindness).
Selain dari itu Suyanto (2006 : 180) menjelaskan bahwa usaha meningkatkan efektivitas sekolah juga dapat dilakukan dengan mengaplikasikan empat teknik, yaitu:
  1. School review, yakni suatu proses dimana seluruh komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga profesional untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah serta mutu lulusan;
  2.  Benchmarking, yakni kegiatan untuk menetapkan target yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu;
  3. Quality assurance, merupakan teknik untuk menentukan bahwa proses pendidikan telah berlangsung sebagaimana seharusnya. Informasi yang akan dihasilkan menjadi umpan balik bagi sekolah dan memberikan jaminan bagi orang tua bahwa sekolah senantiasa memberikan pelayanan terbaik;
  4. Quality control merupakan suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan standar.
Selaku pemimpin di sekolah, Kepala Sekolah dituntut dapat menjalankan semua peran tersebut secara optimal. Dalam mewujudkan sekolah yang efektif, permasalahan terberat yang harus segera ditangani adalah penyediaan fasilitas yang mendukung potensi lokal dapat berkembang optimal.
3.1    Kesimpulan
Dari pembahasan yang ada dapat disimpulkan bahwa:
Sekolah sebagai suatu sistem, yaitu suatu kesatuan yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan satu sama lain yang membentuk satu kesatuan yang utuh. Sedangkan sekolah itu sendiri terdiri dari beberapa komponen-komponen (input, proses dan output) yang saling berkaitan satu sama lain sehingga sekolah dapat dikatakan sebagai suatu sistem.
Pengertian sekolah efektif yaitu sekolah yang memiliki sistem pengelolaan yang baik, transparan dan akuntabel, serta mampu memberdayakan setiap komponen penting sekolah, baik secara internal maupun eksternal, dalam rangka pencapaian visi-misi-tujuan sekolah secara efektif dan efesien.
Konsep sekolah efektif adalah sekolah yang mampu mengoptimalkan semua masukan dan proses bagi ketercapaian output pendidikan, yaitu prestasi sekolah terutama prestasi siswa yang ditandai dengan dimilikinya semua kemampuan berupa kompetensi yang dipersyaratkan didalam belajar. Karekteristik sekolah efektif yaitu:
1. kepemimpinan kepala sekolah kuat.
2. harapan yang tinggi terhadap prestasi pelajar.
3. menekankan pada keterampilan dasar.
4. keteraturan dan atmosfer terkendali.
Kepemimpinan sekolah efektif oleh kepala Sekolah karena Kepala sekolah merupakan figure (key person) dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan sekolah yaitu sekolah yang efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Bidwel, Douglas M. Windham. (1980). The Analicis of Educational Productivity Volume II: Issues in Microanalicis. Ballinger Publishing Company: Massachusetts.
Buhler, Patricia. (2004). Management Skills. Jakarta : Prenada Media.
Hadiati. S. (2001), Manajemen Sumber Daya Manusia  Lembaga Administrasi Negara-Republik  Indonesia.
Irawan, Prasetya. (1995). Analisis Kinerja (Panduan Praktis) Menganalisis Kinerja Organisasi, Kinerja Proses, dan Kinerja Pegawai. Jakarta: Universitas Indonesia.
Liang-Gie, T. (1994). Administrasi Perkantoran Modern. Yogyakarta: Liberty.
Manullang. (1990). Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Philip B. Coss by  (1979) Conformance to requipment, Armand V. Feigenbaum
Sedarmayanti (2001). Sumber Daya manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: Mandar Maju.
Sutomo, dkk. 2008. Manajemen Sekolah. Semarang : Unnes Press
Tim Penyusun (2006) Program Pengembangan Dosen Non Guru Besar. Universitas Pendidikan Indonesia
Zeithaml. V. Et. Al. (1996). Service Marketig. McGraw-Hill International Edition.

PENTINGNYA PENDIDIKAN  KARAKTER MAHASISWA PGSD
UNTUK MEWUJUDKAN  GURU YANG BAIK

Abstraks
Persepsi masyarakat terhadap guru SD di pedesaan sangat negatif, betapa  tidak. Guru SD
sekolah  penggiran  (bukan  SD  Inti)    di  pedesaan  berangkat  agak  siang  karena  perjalanan  jauh,
sepulang dari sekolahan langsung pergi ke sawah untuk mencari rumput buat ternaknya sekaligus
melihat  perkembangan  tanaman  padi  atau  pola  wija  yang  menjadi  penopang  hidupnya.  Pulang
agak sore menjelang magrip, pergi mandi, makan sore, melihat TV (televisi) sekedar hiburan dan
karena  badan  sudah  lelah  kemudian  tidur.  Mengajar  di  sekolahan  sekedar  membawa  buku
pelajaran, mungkin tidak pernah persiapan  dan hanya sekedar legal formal mengisi pelajaran di
kelas untuk memenuhi  tugas karena dibayar negara. Hasil UAN di SD pinggiran (bukan SD Inti)
pedesaan sudah dapat diduga, NEM (nilai eptanas murni)  skor  nilai    16 sudah dianggap tinggi
dalam satu kelas, karena selebihnya angka berkisar antara 11 – 15 (Dr. Hartoyo, 2009).
SD pinggiran (bukan SD Inti) di perkotaan pun tidak jauh berbeda, meskipun keadaannya
tidak  separah  di  pedesaan.  Penulis  pernah  menemukan,   ada  guru  yang  tidak  mempunyai
komitment  mengajar;    pagi-pagi  guru  sudah  berbelanja  sayuran    ke  pasar  dan  kemudian
meraciknya di sekolahan,    sedang murid-murid dibiarkan berlari-lari dan sebagian murid justru
membantu guru. Menurut Wisnugiyono, seorang peneliti pendidikan mengatakan; meskipun guru
telah  disertifikasi  dan  memperoleh  tunjangan  khusus,  namun  hasilnya  belum  seperti  yang
diharapkan kinerja guru tidak jauh berbeda dengan kehidupan sebelumnya (Wisnugiyono, 2009).
Dengan  melihat  data  dan  kenyataan  tersebut  di  atas  PGSD  (pendidikan  guru  sekolah
dasar)  sebagai  institusi  formal,  bertanggung  jawab  untuk  mendesain  calon  guru  SD  yang
memiliki komitment mengajar, profesional di bidangnya, dan memiliki  karakter yang baik. Oleh
karena itu pendidikan karakter bagi calon guru SD adalah pilihan yang tepat dan mendesak untuk
diberikan pada mahasiswa PGSD.
Kata Kunci: Pendidikan Karaker Mahasiswa PGSD
Pendahuluan
Berita  nengembirakan  bahwa  semenjak  guru  SD  (sekolah  dasar)  diperhatikan
kesejahteraannya,  dan  kebijakan  pemerintah  akan  melakukan  pengangkatan  guru  SD  secara
masal,  maka  masyarakat  merespon  secara  positif  dengan   mengirimkan  anaknya  yang   terbaik
untuk menjadi  guru SD, dan menurut Rektor UNY    (Universitas Negeri  Yogyakarta)  skor nilai
tertinggi  seleksi  mahasiswa  baru  ditempati  oleh  mahasiswa  PGSD  (Pendidikan  Guru  Sekolah
Dasar)  setelah skor mahasiswa kedokteran (Rahmad Wahab, 2009).
Bibit  unggul  di  atas  harus  digarap  dengan  serius  agar  menghasilkan  guru-guru  yang
exellent,    berkualitas,  profesional    dan  mempunya  didikasi  yang  tinggi  terhadap  siswa  SD
sehingga dapat menghasilkan pencerahan bagi dunia pendididikan. Oleh karena itu calon guru SD
harus  didik  dengan  baik  dipersiapkan  dengan  saksama  sehingga  mampu  menyesuaikan
perubahan  di  era   globalisasi,  seperti  diungkapkan  oleh  Rahmad  Wahab  dalam  Yogya  TV  30
April 2010 pukul 21.00 ” Calon guru SD (mahasiswa) yang ideal harus menguasai bahasa Inggris,
mandiri, percaya diri dan berjiwa penguasaha sehingga dapat bersaing  di pasar bebas”, hal ini
2
diungkapkan dalam konteks UNY menjadi World Class University (WCU). Sedang menurut Umi
mahasiswa  PGSD;   guru  SD  ideal  adalah  pendidik  yang  mampu  memberi  contoh  pada peserta
didik,  karena  anak  SD  dalam  konteks  pembelajaran  masih  meniru  contoh  kongkrit  yang
dilakukan oleh gurunya (Wawancara, 3 Mei 2010).
Guru  SD  yang  ideal  menurut  Agus  Pramusinto  (Kedaulatan  Rakyat,  2  Mei  2010;1)
mengatakan bahwa guru yang baik jika dapat merapkan untuk peserta didiknya ”bermain sambil
belajar”,  unsur  bermain  harus  lebih  dominan,  tetapi  digunakan  dalam  kerangka  belajar.  Anakanak hanya  didorong gemar membaca-membaca, tetapi tidak  perlu ada ulangan.  Setiap anak SD
didorong setiap hari harus meminjam buku, sehingga selama 1 tahun dapat membaca 200 judul
buku. Pembelajaran di sekolah adalah  celebrating learning  ( merayakan belajar), pembelajaran
adalah  suatu  yang  dinikmati  bukan  menjadi  beban.  Sedang  menurut  Dr.  Supriyadi  guru  ideal
adalah  guru  yang  selalu  Inspiratif  dalam  pembelajaran  karya  dan  petuahnya  tetap  hidup  dalam
diri  siswanya, kolega dan sahabatnya dan memperhatikan perserta didiknya dengan baik (KR, 2
Mei, 2010: 23). Menurut Novi Maesaroh mahasiswa PGSD mengatakan ”mahasiswa PGSD yang
ideal  adalah  mampu  mengembangkan  ide  kreatif  dan  inovasinya,  mengembangkan  potensi
(talentanya)  dan  mampu  mengembangkan  pemikirannya  dan  memiliki  sikap  kritis  yang  dapat
dituangkan  dalam  penelitian  pendidikan  di  SD  sehingga  menjadi  ahli  pendidik  di  masa
mendatang (Reality Magazine,  2010: 1).
Calon  Guru  SD  yang  ideal  menurut  Pakar  pendidikan  (dosen  PGSD)    T.Wakiman
mengatakan  bahwa  ”personal  tersebut  harus  melakukan  inovasi  tiada  henti,  senatiasa  meng
ubgrade    diri (memperbaiki diri), tidak elergi terhadap perubahan, senantiasa banyak membaca
tentang  perkembangan  pendidikan,  menyesuaikan  dengan  perkembangan  teknologi  pendidikan
sehingga  tidak  ketinggalan  zaman.  Guru  SD  harus  memiliki  wawasan  yang  luas  memahami,
menganalisis, memberi solusi masalah isu-isu yang  uptudate  sesuai dengan kapasitasnya sebagai
guru  yang  ideal  sehingga  dapat  memberikan  kontribusi  secara  maksimal  di  bidang  pendidikan
(Wawacara, 3 Mei 2010).
Namun demikian dalam kenyataannya, mebentuk calon guru SD yang ideal tidak seperti
membalikkan  tangan,  semuanya  menjadi  baik  dan  sempruna.  Penulis  menemukan  kasus-kasus;
ada mahasiswa PGSD yang hidupnya tidak tertib; sering datang terlambat, perokok berat, suka
minum-minum, melanggar nilai-nilai moral, malas membaca-  menulis artikel  dan semuanya ini
harus diperoses, dibentuk agar menjadi calon guru yang baik. Dalam membentuk calon guru tidak
kalah  pentingnya  peran  dosen  pembimbing,  ketua  asrama,  pejabat  berwenang,  peraturan
akademik  dan  semua  unsur  harus    diberdayakan  secara  sinergis  melalui  norma  yang  ada  dan
3
pemberian  penghargaan  pada  mahasiswa  yang  berprestasi,  pemberian  sanksi  bagi  pelanggar
norma sehingga calon guru SD terbentuk oleh lingkungannya.
Dalam  konteks  pembangunan  menyeluruh  membagunan   sember  daya  manusia
khususnya calon guru SD    untuk  membentuk watak yang baik,    harus lebih diutamakan melalui
proses  pendidikan.      Pembentukan    akhlak mulia  atau watak yang baik,  sangat penting sekali
seperti dalam ungkapan ”  knowalge is power but character is more”. Arti ungkapan tersebut di
atas  maksudnya; bahwa pengetahuan adalah kekuatan suatu bangsa tetapi watak  melebihi dari
kekuatan pengetahuan, sehingga watak manusia menepati prioritas utama.
Konsep pembentukan watak ini hampir setiap sekolah, institusi pendidikan mempunyai
slogan-slogan,  visi-misi,  ungkapan-ungakapan,  jargon,  sesanti,  tekad,  moto,  yang  kesemuanya
mempunyai  tujuan   untuk  membentuk  watak  yang  baik   sebagaimana  didesain  oleh  arsitek,
perencana pendikan, pakar watak,  stake holder,  dengan segala  indoktrinasinya. Pada umumnya
tempat isntitusi pembentuk peserta didik memiliki slogan sesuai dengan watak yang diharapkan;
seperti  di  UNY  memiliki  ungkapan  ”bernurani-cendekia-mandiri”.  Slogan  atau  jargon
diungkapkan, diciptakan untuk memembentuk watak yang baik sesuai dengan visi lembaga dan
jiwa zaman yang sedang dihadapi sebagai dinamika kehidupan.
Pengertian Karakter
Dalam  Webster’s  Dictionary,  pengertian  kata  karakter  berarti  ”the  aggragate  features
and  traits  that  form  the  apparent  individual  nature  of  same  person  or  thing;  moral  or  ethical
quality; qualities of honesty, courage, integrity; good reputation; an account of the cualities or
peculiarities  of  a  person  or  thing”.    Karakter  merupakan  totalitas  dari  ciri  pribadi   yang
membentuk  penampilan  seseorang  atau  obeyek  tertentu.   Ciri-ciri  personal  yang  memiliki
karakter  terdiri  dari  kualitas  moral  dan  etis;  kualitas  kejujuran,  keberanian,  integritas,  reputasi
yang baik; semua nilai tersebut di atas merupakan sebuah kualitas yang melekat pada kekhasan
personal individu.  Sedang  menurut  Ensiklopedia  Indonesia,  karakter   memiliki  arti  antara  lain;
keseluruhan  dari  perasaan  dan  kemauan  yang  tampak  dari  luar  sebagai  kebiasaan
seseorang bereaksi terhadap  dunia luar dan impian yang diidam-idamkan  (Tan Giok Lie,
2007;  37).    Pengertian  karakter  dilihat  dari  sudut  pendidikan,  didefinisikan   sebagai  stuktur
rohani   yang terlihat  dalam  perbuatan,  dan  terbentuk  oleh faktor  bawaan  dan  pengaruh
lingkungan.  Karakter mengacu pada  kehidupan moral dan etis seseorang untuk mengasihi
Tuhan dan sesama, yaitu kebajikan moral untuk berbaut baik.
Karakter adalah sesuatu yang dipahatkan    pada  hati, sehingga menjadi tanda yang khas,
karakter mengacu pada moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Karakter bukan merupakan gejala
4
sesaat,  melainkan  tindakan  yang  konsisten  muncul  baik  secara  batiniah  dan  rohaniah.
Karakter  semacam  ini  disebut  sebagai  karekter  moral  atau  identitas  moral.  Karakter  mengacu
pada  kebiasaan  berfikir,  berperasaan,  bersikap,  berbuat  yang  memberi  bentuk  tekstur   dan
motivasi  kehidupan  seseorang.  Karakter   bersifat  jangka  panjang   dan  konstan,  berkaitan  erat
dengan pola tingkah laku, dan kecenderungan pribadi seseorang untuk berbuat sesuatu yang baik.
Karekter  adalah  serangkaian    nilai  yang  operatif,  nilai  yang  nyata  sebagai  aktulisasi
dalam  tindakan.  Kemajuan  karakter  adalah  pada  saat  suatu  nilai  berubah  menjadi  kebajikan.
Kebajikan  dan  kemurahan adalah  kecenderungan   batiniah  seseorang   yang  merespon  be rbagai
situasi  dengan  cara  diungkapkan  dengan   baik   secara  moral.  Karakter  selalu  mengacu  pada
kebaikan yang terdiri dari tiga bagian yaitu mengetahui yang baik, menginginkan yang baik dan
melakukan yang baik. Ketiga kebiasaan ini didasarkan pada kebiasaan pikiran, hati dan kehendak.
Karekter  sebagai  sesuatu  yang  melekat  pada  personal  yaitu  totalitas  ide,  aspirasi,  sikap  yang
terdapat pada individu dan telah mengkristal di dalam  pikiran dan tindakan (Tan Giok Lie, 2007;
37).  Manusia hanya dapat mengamati karakter secara eksternal dan parsial, dari kebiasan, pola
pikir,  pola  sikap,  pola  tindak  atau  pola  merespon  secara  emosional  dan  pola  dalam  bertingkah
laku. Manusia bisa salah  dalam memberikan penilain terhadap karakter individu, hanya individu
itu sendirinya yang mengetahui siapa jati dirinya.
Karakter  mahasiswa  PGSD  diharapkam  seperti  uraian  di  atas  mempunyai  didikasi,
pengadian,  rela  berkorban,  profesional  dan  memiliki  kebiasaan  pola  pikir,  pola  sikap  dan  pola
perilaku sebagai clon pendidik untuk kepentingan pembelajaran di sekolah dasar.
Pendidikan Karakter Bagi Mahasiswa PGSD
Dalam  usaha  membentuk  karakter  mahasiswa  PGSD  perlu  memahami  visi  institusi
PGSD  yaitu;  menghasilkan  tenaga  profesional  yang  memiliki  kemampuan  dan  kewenangan
sebagai  guru  Sekolah  Dasar  yang  unggul  dalam  pendidikan  kepribadian  anak  dan  mampu
mengembangkan  konsep-konsep  pendidikan  dasar  literasi  yang  berwawasan  kebangsaan  dan
budaya Indonesia dalam perspektif global. Sedang misinya adalah :
a.  Melaksanakan pendidikan dan pengajaran yang menghasilkan lulusan profesional di bidang
pendidikan dasar.
b.  Melakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta seni (IPTEKS)
dalam pendidikan dasar.
c.  Melaksanakan  kegiatan  pengabdian  masyarakat  kepada  stakeholders  dalam  bidang
pendidikan dasar.
Adapun Tujuan dibentuknya Prodi PGSD adalah
a.  Menghasilkan  calon  guru  Sekolah  Dasar  yang  memiliki  keahlian  dan  kecakapan  sesuai
standar kompetensi lulusan S-1 PGSD.
5
b.  Mengembangkan IPTEKS menuju terwujudnya pendidikan Sekolah Dasar di Indonesia lebih
berkualitas.
c.  Menerapkan  IPTEKS  pendidikan  dasar  yang  berorientasi  pada   terwujudnya  manusia  dan
masyarakat  yang  berwawasan  kebangsaan  Indonesia,  cendekia,  mandiri  dan  bernurani.
Sedang Sasaran dan Strategi Pencapaiannya adalah;
a.  Menghasilkan calon guru Sekolah Dasar yang profesional.
b.  Meningkatkan kualitas guru Sekolah Dasar di Indonesia.
c.  Menghasilkan  karya  penelitian  dan  pengembangan  ilmu  pengetahuan,  teknologi,  serta  seni
(IPTEKS) dalam pendidikan dasar.
d.  Memberikan sumbangan kekayaan intelektual dalam bidang pengembangan pendidikan dasar.
e.  Menghasilkan  produk  layanan  pengabdian  kepada  stakeholders  dalam  bidang  pendidikan
dasar.
f. Meningkatkan kepedulian  stakeholders  pada proses peningkatan kualitas pendidikan dasar.
( Dirjen Dikti: Pengisian Borang PGSD, 2009; 3-7)
Setelah  melihat  visi,  misi  dan  tujuan  Prodi  PGSD  maka  lembaga  secara  bersinergis
dengan  perangkat  yang  ada  berusaha  mewujudkan  tujuan  tersebut  di  atas  sehingga  dapat
memenuhi sasaran yang telah direncanakan.  Peran prodi PGSD    bersama-sama  dosen berusaha
memenuhi  tujuan  istitusi  sehingga  dapat  menghasilkan  guru  PGSD  yang  ideal,  atau   memiliki
karakter yang baik dan handal dalam era globalisasi.
Menurut H. Afandi Ketua Asrama UPP1 UNY mengatakan, institusi keguran jika hendak
membentuk  karakter  calon  guru  yang   baik  harus  menerapkan  disiplin  tinggi  seperti  akademi
militer. Calon guru harus dididik dengan disiplin tinggi,  dalam berasrama; diharuskan    makan
bersama, kegiatan bersama, belajar bertanggung jawab, berpenampilan standar guru, performence
mencerminkan  sikap,  pikiran  dan  perilaku  guru  yang  sempurna  dan  ideal  atau  seperti  zaman
kejayaan  SPG  (sekolah  pendidikan  guru  setingkat  SMA)  (Wawancara,  3   Mei  2010).  Usaha
pembentukan  karakter  guru  harus  ditanamkan  bahwa  calon  guru  adalah  sosok  agen  perubahan
sosial (agent of change) yang diminta masyarakat untuk memberikan bantuan kepada warga yang
sedang duduk  di bangku sekolah dasar. Tugas calon guru adalah melakukan perubahan sepanjang
masa, meningkatkan kualitas pembelajaran,  melakukan  pembelajaran sepanjang hidup sehingga
tercapai profesionalisme guru.  Calon guru yang ideal harus menguasai pembelajaran kooperatif,
pembelajaran  berbasis  masalah,  PAKEM  (pembelajaran  aktif  kreatif  dan  menyenangkan),
pembelajaran keratif dan produktif, pembelajaran integratif berbasis nilai kemanusiaan, budaya
dan  soft  skills  (ketrampilan  hidup),  memanfaatkan  ICT  (e-learning  atau  pembelajan  bebasis
ekektronika)    dan  aneka  sumber  belajar.  Calon  guru  ideal  harus  menguasai  kompetensi
pedagogik,  kompetensi  sosial,  kompetensi  kepribadian,  dan  kompetensi  profefsional  (Jati  diri
Seorang Guru, 2010; 15).
Dalam membentuk karakter sesuai visi, misi dan tujuan Institusi PGSD menurut H. Sujati
dosen  PGSD;    calon  guru  SD  pada  tataran  pemahamannya  harus  dibawa    sampai  memasuki
6
tataran  bereligi,  artinya  nilai    agama  sudah  mencapai  titik  puncak  religius  dan
mengemplementasikan dalam kehidupan  sebagi ibadah nyata tidak mengharapkan  pamrih diberi
gaji berapa, tetapi dengan tulus ingin memajukan dunia pendidikan khususnya di SD.  Personal
yang  telah  mencapai  tingkat  religius  ini  harus  diusahakan  dan  dibentuk  sehingga  sekat-sekat
agama atau lintas SARA (suku antar golongan ras dan agama), materi  bukan menjadi penghalang
dalam berkarya tetapi nilai-nilai universal dalam kehidupan disosialsisaikan kepada peserta anak
didik agar menjadi warga yang baik.
Pendapat  di  atas  mendapat  dukungan  oleh  Sri  Yuni  seorang  mahasiswa  PGSD  UT
(Universitas  Terbuka)  yang  mengemukakan  bahwa  dalam  pembentukan  karakter  peserta  didik
harus menerima kecerdasan spritual tingkat tinggi untuk menjadi manusia sempurna. Oleh karena
kecerdasan spiritual akan memberi dorongan,  motivasi, bertahan dalam kesulitan, pengendalian
diri,  rela  berkorban,  mempersembahkan  yang  terbaik,  tidak  banyak  tuntutan,  mengucap  syukur
dalam   segala  hal,  mengasihi  tanpa  pamrih  sehingga  visi,  misi  institusi  dapat  diaktualisasikan
dalam kihidupan nyata untuk kemajuan pendidikan di sekolah dasar (Wawancara, 2 Mei 2010).
Menurut Dr. Hartoyo  pengamat pendidikan; dalam membentuk karakter  calon  guru SD,
diperlukan kehendak, pikiran, perasaan yang bersumber dari roh yang baik.  Kehendak, perasaan,
dan logika  dalam  koridor jiwa  harus  mau  dibentuk  menjadi  manusia  yang  ideal  melalui  dialog
dengan dirinya, dialog dengan norma yang berlaku dan menurut perintah yang telah didesain oleh
stakeholders  untuk  mencari  kesempurnaan  dalam  pelayanan  pengabdian  di  bidang  pendidikan.
Calon guru harus mau dikoreksi oleh seniornya, mengoreksi diri melalui refleksi berulang-ulang
untuk  mencari  jati  diri,  panggilan  nurani  sebagai   aktualisasi  diri   membentuk  karekter  secara
total dalam kehidupan pengabdiannya.
Dalam  pembentukkan  karakter  calon  guru  SD  harus  murad  sariro  ing  ngarso  wani
rumongsa  melu  handarbeni,  romungsa  melu  hangrungkebi.  Artinya  calon  guru  SD  melihat
kenyataan  hidup,  melihat  diri  sendiri  dan  lingkungannya  menghasilkan  paggilan  nurani  untuk
mengabdi pada bangsa dalam wujud mnecerdaskan anak SD, merasa memiliki, menggugah jiwa
untuk  tampil  all  out  dalam  memajukan  pendidikan  SD.  Calon  guru  SD  harus  memiliki  jiwa
patriotisme memberi kehidupan terbaik, waktunya, uangnya, hartanya bahkan nyawanya yang tak
ternilai dicurahkan bagi kemajuan pendidikan di sekolah dasar sebagai  wujud aktualisasi diri. Dr.
Chrismarantika mengatakan bahwa; dalam mewujudkan pengabdian sebagai  servant  (pelayan),
hamba (pengabdi) di SD  tidak mengharapkan upah atau imbalan berwujud apapaun. Oleh karena
sudah dipercaya sebagai calon pendidik itu merupakan anugerah yang tidak ada taranya, sehingga
pelayanannya  tulus,  tanpa  pamrih,  memeberi  yang  terbaik  sampai  ambang  batas  toleransi
absolut  dalam  bentuk  mengadi  untuk  mengembangkan  sekolah  dasar.  Hal  ini  harus  dilakukan
7
dengan  segenap  hati,  jiwa,  sepenuh  akal  budi  dan  dengan  segala  kekuatan  sebagai  bagian
komitment aktualisasi diri dan wujud implementasi bekerja secara maksimal.
Pembentukan karakter menempati prioritas utama bagi bangsa ini,  Romo  Manguwijaya
mengatakan; calon guru SD harus memiliki karakter yang baik  meskipun  mlarat ning ningrat
artinya  seorang  calong  guru  SD  siap  hidup  sederhana  tetapi  memiliki jiwa  mulia  menyiapakan
sumber  daya  manusia  lebih  banyak  untuk  kepentingan  orang  miskin  (Sindunata,  1999:   279).
Konsep Romo Mangun juga diterjamahkan oleh muridnya Pujiyono, Kajur PGSD Sanatadarma
yang  mendesain mahasiswa PGSD dengan sungguh-sungguh  agar memiliki karaker baik; sejak
semester I diterjunkan langsung di SD Kanisius dengan memahami, menganlisis dan mengadopsi
karakter seniornya  (Romo Mangun)    agar  berjiwa pelayan  sehingga lulusannya mempunyai nilai
jual.  Hal  yang  sama  dilakukan  Daniel  Alexander  pemilik  yayasan  Pusat  Pelayanan  terpadu
(PESAD) dengan mendirikan 54 SD di Papua, membentuk karekater guru SD dengan memiliki
karakter kasih, memberikan segalanya, hidupnya  untuk yang dilayani (Kick Andy, April 2010).
Rony  pekerja  LSM  (lembaga  swadaya  masyarakat)  pembentuk  karakter  guru  yang  terutama
adalah  menanamkan nilai multikultural untuk perdamaian  dan meminimalisasi konflik, memiliki
komitment  pelayanan, kebranian  mengendalikian diri dan mentaati aturan lembaga yang berlaku
(Wawancara, 5 Mei  2010). Nilai-nilai pembentuk karakter di atas harus didukung oleh kebijakan
pemerintah,  sudah  saatnya  pemerintah  meninggalkan  paradigma  lama  ke  paradigma  baru  dan
harus meninggalkan aliran  (mazab)  sistem  pendidikan    Inggris  diadopsi Amerika Serikat dengan
profet orieted, menggati dengan model kontinental yang berlaku di Eropa Barat sehingga sekolah
tidak  perlu  membayar  seperti  di  Jerman    dengan  mengedepankan  nilai-nilai  humanis  dan
kemartabatan manusiawi (Tajuk Rencana Kompas, 5 Mei 2010).
Dalam  usaha  membentuk  karakter  mahasiswa,  keluarga  memiliki  peran  penting
membentuk  watak  mahasiswa  PGSD.  Oleh  karena  dalam  keluarga  peserta  didik  mendapatkan
pengalaman  pertama  dan  utama.  Geerts  mengemukakan  bahwa  melalui  penggalaman  keluarga
mahasiswa  memperoleh  pengertian,  perlengkapan  emosional,  ikatan-ikatan  moral  yang
memungkinkan  bertindak  sebagai  orang  dewasa  dalam  masyarakatnya.  Penelitian  Baumrid  dan
Chen menunjukkan bahwa pola asuh    orang tua berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan
akademik    peserta  didik. Oleh karena itu diperlukan pendampingan    yang memandai, penelitian
Zevalkink  menunjukkan  bahwa  orang  tua  di  Indonesia  kurang  memberi  dorongan  emosional,
kurang menghargai kemandirian putranya, cenderung menekan pada perilaku moral.
Dalam  usaha  mentarsfer  nilai-nilai  pembentuk  karakter  digunakan  pendekatan  dan
metode  pembelajaran  yang  tepat  sesuai  dengan  tumbuh  kembang  jiwa  mahasiswa.  Menurut
Habibah (Habibah, 2007: 1) dalam sosialisasi pendidikan karakter dapat digunakan pendekatan
8
indoktrinasi, klasifikasi nilai, keteladanan, dan perilaku  dosen. Keempat pendekatan tersebut
di atas diharapkan dapat diterapkan sesuai dengan situasi keondisi serta dilakukan secara holistik
sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih. Pendekatan di atas juga diharapkan dosen mengetahui
karakteristik  mahasiswa apa korelik, flakmatik, sanguinis, melangkolis, atau perpaduan di antara
karakter yang ada,  maupun kondisi  lingkuang keluarganya, dan seorang  dosen  harus memiliki
kemampuan  untuk  mengimplementasikan  psikologi  pendidikan  sehingga  lingkungan  kondusif
untuk pembelajaran karakter (Sri Rumini, 1995: 19-20).
Pendekatan  indoktrinasi  dengan  cara  memberi   hadiah  atau  hukuman,  peringatan,  dan
pengendalian  fisik.   Sedang  pendekatan  klasifikasi   nilai  pembentuk  karakter,   dengan  cara
penalaran  dan  ketrampilan.  Pendekatan  keteladanan  dengan  cara  disiplin,  tanggung  jawab,
empati,   dan  pendekatan  pembiasaan  dengan  cara  perilaku  seperti  berdoa,  baca  kitab  suci,
berpuasa, berterima kasih. Pendekatan  habitus  diharapkan dapat merubah perilaku  mahasiswa
PGSD memiliki karakter yang baik (Ambarwati, 2007: 1).
Keberhasilan pembangunan pendidikan, khusunya pendidikan karakter di China patut
kita tiru. Pendidikan karakter  generasi penerus  China berbeda dengan pendidikan di Indonesia
yang lebih menekankan pada karakter akhlak (implementasi nilai) melalui proses  knowing the
good,  loving  the  good,  and  acting  the  good,  yaitu  proses   pendidikan  yang  melibatkan  aspek
kognitif, emosi, dan aspek fisik, sehingga menghasilkan karakter yang baik bisa terukir menjadi
habit of the mind,  habit of the hart, habit of the hands (Google Pendidikan Karakter, 2007: 1).
Pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek kehidupan manusia, sehingga tidak
cocok hanya menekankan  pada aspek kognitif saja, hal ini dapat membunuh karekater  peserta
didik.  Namun   pendikan  karakter  bagi  calon  guru  harus  disesuikan  dengan  perkembangan
kejiwaan,  mengembangkan   seluruh  aspek  kehidupan  manusia;   intelektual,  karekater,  estetika,
dan fisik dan dalam koridor pembelajaran nilai pembentuk karakter yang menyenangkan (Bobbi
DePorter & Mike Hernacki, 203: 8).
Dalam membentuk karakter diperlukan pemimpin pembentuk karakter yang kuat, karena
peradaban yang besar dibentuk oleh pemimpin kuat sebagai fasilitator terbangunnya individu dan
kominitas berkarakter.  Pemimpin sebagai reformator yang memiliki integritas seperti Musa,  Raja
Daud,  Isa Almasih, Mahadma Gandi, Martin Luterking  Jr, Gus Dur, YB Mangunwijaya.    Segala
sesuatu  jatuh  dan  bangunnya    karakter  generasi  penerus  yang  baik  tergantung  pemimpinnya
(dosen,  instruktur,  orang  tua  pendampingnya).  Unsur  kepribadian  pemimpin   yang  paling
menentukan  adalah  karakter  yang  berintegritas.  Pembentukan  karakter  adalah  sesuatu  yang
normatif, meskipun prosesnya sepanjang hidup. Pembentukkan karakter tidak hanya menyentuh
aspek koqnitif, tetapi sisi hati dan komitmen. Keduanya  menjadi syarat untuk mengmbangkan
9
karakter dan identitas moral individu. Dengan cara ini karakter    pemimpin (dosen, pendamping)
akan nampak dalam kehidupan mahasiswa PGSD yang telah terbentuk karakternya.
Membentuk Karakter Calon Guru SD
Pembentukan karakter terjadi karena dua unsur yaitu faktor indogin dan eksogin; faktor
indogin secara psikologis manusia memiliki karakter bawaan seperti sifat-sifat kolerik, sanguinis,
flagmaitik  dan  melangkolis.  Namun  demikian  tidak  menutup  kemungkinan  tiap  individu
mempunyai  gabungan di antara karakter model-model  yang memiliki sifat-sifat  tersebut di atas.
Karakter bawaan ini bisa dibentuk  menjadi karakter ideal   melalui pendidikan sejak masa muda,
sehingga menghasilkan watak yang  baik sesuai dengan nilai-nilai diharapkan oleh komunitas dan
jiwa zaman.
Faktor  eksogin  atau  pengaruh  dari  luar  bisa  berupa  pengaruh  keluarga,  pendidikan
formal,  non  formal  dan  masyarakat  yang  melingkupi  kehidupan  personal.  Melalui  kehidupan
lingkungan  individu  dibantuk    lewat  interaksi  dinamis  yang  saling  mempengaruhi.  Interaksi
dialektis dinamis, ini akan menghasilkan manusia yang selalui siap menghadapi perubahan jaman
khsususnya bagi anak usia dini.
Secara  sosiologis  kehidupan  manusia  dalam  berinteraksi  dipengaruh  oleh  konsep
intenasliasi  dan  eksternalisasi,  maksudnya  ketika  anak   usia  dini  dilahirkan  dalam  keluarga,
individu ini harus mempelajari bahasa lingkungan dan memasukkan kenyataan eksternal menjadi
kenyataan  satu  dengan  dirinya.  Bahasa  sebagai  kenyataan  eksternal  masuk  ke  dalam  diri  anak
usia dini dan  menjadi kenyataan internal. Proses memasukkan kenyataan eksternal ke dalam  dan
menjadi  kenyataan  internal,  disebut  internaliasai  (Robet  MZ  Lawang,  1986:  22).  Jadi  dalam
pembentukan  karakter  mahasiswa  PGSD  dipengaruhi  oleh  lingkungan  dan  calon  guru  SD
memberi respon untuk menerima pengaruh dari luar.
Pembentukan  karakter  yang  paling  efektif    jika  dimulai  dari  lingkungan  keluarga  dan
diterapkan  masa  muda.  Masa  muda  mencakup  tahun-tahun  pertama  kehidupan,  khususnya
pereode  lima  tahun  pertama.  Pada  pereode  awal  terbentuknya  kepribadian  seseorang.  Menurut
Jean Piaget dan Lewrence Kohlberg, moralitas anak bersifat  heteronomos;    moralitas  individu
dibentuk  oleh  norma  yang  ditanamkan  oleh  personal  dari  luar  dirinya  yaitu  mereka  yang
berhubungan paling dekat dengannya, terutama lingkungan keluarga  inti yang terdiri dari ayah,
ibu, adik dan kakak.
Dalam   usaha  mensosialisasikan  nilai-nilai  pembentuk  karakter    peserta  didik  sering
mengalami  kebingungan   dalam   menentukan  pilihan  bagaimana  harus  berpikir,  berkeyakinan
dan bertingkah laku sebab apa yang dimengerti belum tentu sama dengan apa yang terjadi dalam
10
masyarakat yang penuh konflik nilai. Televisi dan koran, teman  bermain memberikan informasi
yang  berbeda  dengan  apa  yang   ada  dalam  keluarga   maupun  yang  terjadi  di  masyarakat,
sehingga  hal  ini  sangat  membingungkan  peserta  didik  untuk  menentukan  pilihan  nilai  yang
membentuk  karakter.  Peserta  didik  sulit  menentukan  pilihan  nilai  yang  terbaik,  akibat  dari
tekanan dan propaganda teman sebaya. Dalam hal ini jika pendidikan nilai pembentuk karakter
agar  berhasil  perlu  mengajarkan  secara  langsung  kepada   peserta  didik  dengan  memberi
keteladanan secara langsung  seperti sebagaimana seharusnya. (Parjono, 2005: 1).
Transfer  nilai  untuk  membentuk  karakter  kepada   peserta  didik  juga  dapat  digunakan
dengan metode secara  moderat (  ada 3 pola asuh:  Otoriter, Demokratis, Permisif  atau  tidak
dikontrol) karena didunia ini  tidak ada sistem yang  sempurna. Oleh karena itu peserta didik
harus mengolah dan memiliki normanya sendiri  untuk mewujudkan karakter ideal. Berdasarkan
penelitian Lewin dkk (Gerungen, 1987; 84) pendidikan  yang diasuh secara  otoriter  cenderung
mempunyai  karakter  dengan    ciri-  ciri  menunggu   dan  menyerah  segala-galanya  pada
pengasuhnya, disamping itu mempunyai sikap keagresipan, cemas dan mudah putus asa. Sedang
pendidikan  dengan  pola  asuh  demokratis  menghasilkan  karakter  dengan    ciri-ciri  berinisiatif,
berani, lebih giat, dan lebih bertujuan.
Pola  asuh  demokratis  bersifat  dua  arah  dalam  bentuk  dialog,  namun  keputusan  terakhir
tetap di tangan kepala keluarga. Dalam pola asuh ini pendapat anak didengarkan dan dihargai.
Apabila  pendapatnya  baik  benar,  rational,  mempunyai  argumen  kuat  orang  tua akan  menerima
pendapatnya.  Hubungan  mahasiswa  dan    dosen  penuh  kehangatan.    Mahasiswa  yang  didik
dengan pola ini akan penuh percaya diri dan terbuka dikoreksi bila melakukan kesalahan, serta
lebih bertanggung jawab karena dipercaya  dosennya.  Dengan pola asuh  demokratis, dosen hadir
sebagai teladan yang berkomunikasi dengan mahasiswanya.
Pendidikan  dengan  pola  otoriter  menghasilkan  karakter  peserta  didik  dengan  ciri-ciri
makin  tidak  taat,  sikap  menunggu,  tidak  melakukan  sesuatu,  daya  tahan  kurang,  dan
menunjukkan  ciri  takut.  Sedang  sikap  dosen  yang  permisif  ;  kurang  tegas  dalam  menerapkan
peraturan  yang  ada,  peserta  didik  diberi  kesempatan  untuk  berbuat  bebas  untuk  memenuhi
keinginannya. Jadi pola asuh dosen berpengaruh terhadap  karakter mahasiswanya.
Pendekatan  yang  ideal  dalam  membentuk  karakter  peserta  didik  adalah  dengan
menggabungkan pendekatan jalan tengah maksudnya menggabungkan pendekatan permisif dan
pola  asuh  otoritatif.  Senior  atau  dosen  berusaha  menyeimbangkan  antara  wibawa  dan  pikiran,
antara kontrol dan dorongan, antara peraturan dan ketaatan, antara hak dan minat  senior dan hak
minat  yunior.    Peserta  didik  yang  didik  secara  otoritatif  akan  bertumbuh  menjadi  anak  yang
bertanggung  jawab,  bermotivasi  tinggi,  ramah,  bermoral,  kooperatif,  bergaul  luas,  percaya  diri
11
karena  mempunyai  harga  diri  yang  luas   (Tan  Giok  Lie,  2007;  43).    Dosen  yang  baik  akan
memberi  kecenderungan    mahasiswanya  memiliki  karekter  yang  baik  pula,  sebab   buah  akan
jatuh tidak jauh dari pohonnya;  peserta didik akan mempunyai kecenderungan memiliki    transfer
karakter dari  seniornya yang mengasuhnya
Sosialisasi nilai-nilai pembentuk karakter harus diberikan kepada anak usia dini, karena
anak  usia  dini   sebagai  generasi  penerus   kelak  akan  menjadi  pemimpin  bangsa.  Pendidikan
karakter bisa disosialisasikan melalui lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan
masyarakat,  dan  akan  lebih  efekktif  lagi  jika  melalui  peraturan  formal,  dan    para  guru  wajib
mengintegrasikan   dalam  mata  pelajaran  sekaligus  memberi  keteladanan  dalam  karakter  yang
baik.  Pemerintah  sebagai  lembaga  formal  juga  wajib  menyensor  tanyangan  TV  yang
menampilkan gambar-bambar atau cerita yang mengakomodasikan bentuk karakter yang baik.
Pendidikan   karakter  diharapkan  dapat  menghasilkan   peserta  didik  yang   memiliki
kompetensi personal dan sosial sehingga menjadi warga negara yang baik (good care  atau good
citizen)   dengan  ciri-cirinya  antara  lain:  berani  mengambil  sikap  positif  untuk  menegakkan
norma-norma sosial, membuat aturan hukum yang kondusif untuk kebaikan dan nilai-nilai moral
demi  masa  depan  bangsa  yang  mengedepankan  nilai-nilai  kasih  yang  baik,  anti  diskriminasi,
inklusifisme,  humanisme,  pluralisme,   kebebasan,  persamaan,  persaudaraan,  kesatuan,
kebangsaan,  kebhinekaan,  multikultural,   nasionalisme,  demokrasi  dan  demokratisasi  yang
bersumber pada nilai-nilai agama sebagai paradigmanya.
Diberikannya pendidikan karakter pada anak usia dini merupakan salah satu alternatif
solusi  penyelesaian   untuk  mengantisipasi  terjadinya  hal-hal  yang  kontraproduktif  dalam
masyarakat   Indonesia.  Dengan  tersosialisasikan   pendidikan   karakter    diharapkan  generasi
penerus dapat memahami, menganalisis, menjawab masalah-masalah yang dihadapi masyarakat
yang  berhubungan  dengan   hal  yang  negatif  dan  dapat  membangun  kehidupan  secara
berkesinambungan, konsisten yang bersumber pada nilai-nilai moral agama sehingga cita-cita
bangsa dapat terwujud perdamain abadi anti kekerasan.
Generasi tua hanya memberikan norma-norma yang sudah dibakukan dalam    norma yang
berlaku  dan  mengajarkannya  untuk  membentuk  karakter,  sehingga  peserta  didik  tidak  merasa
disitir  dan  digurui,  mereka  dibiarkan  untuk  bareksprimen,  berdialog  dengan  dirinya  atau
merenungkan ajaran  seniornya, maka hidupnya akan berhasil  atau  memiliki karakter yang baik
(LAI; 2006; 754), sehingga peserta didik menemukan apa yang dikehendakinya dan tidak
bertentangan dengan nilai subtansial.
Cara  lain  untuk  memindahkan  nilai  dengan  cara  memodelkan,  dengan  asumsi  bahwa
Orang tua (panutan) menampilkan diri dengan nilai tertentu sebagai model yang mengesankan,
12
maka harapannya akan meniru model yang diideolakan. Namun demikian model-model tingkah
laku  dan  sikap   yang  berhubungan  dengan  nilai  sering  ditampilkan   oleh  banyak  orang  yang
berbeda-beda   sehingga  peserta  didik  mengalami  kebingungan  dalam  menentukan  nilai  untuk
membentuk karakternya. Oleh karena itu  dosen  harus mengajar nilai-nilai  dan norma  berulangulang  kepada  mahasiswa  dan  membicarakannya  tersus  menerus.  Nilai  dan  norma  harus
diikatkan  sebagai  tanda  pada  tangan  dan  dahi,  dan  menuliskan  pada  tiang  pintu  dan   gerbang.
Atau seluruh kehidupan dan aktivitas serta lingkungan hidup dijadikan media untuk sosialisasi
nilai-nilai   untuk membentuk karakter  (LAI, 2003: 200). Dalam mengemplementasikannya pada
kehidupan  sehari-hari   di  bidang  politik,  ekonomi,  budaya   kerja    sebetulnya  telah  dibantu
dengan Etika    untuk membentuk  karakter ideal  sehingga tidak perlu ragu-ragu  untuk bertindak
yang benar  untuk membentuk karakter calon guru yang baik  (J. Verkulyl, 1985.: 23).
Dalam usaha transfer nilai juga diperlukan tidak  hanya  difokuskan pada isi nilai, tetapi
lebih  dipentingkan  dalam  proses  nilai,  maksudnya   proses  bagaimana  seseorang  sampai  pada
suatu pemilihan nilai pembentuk karakter  (Parjono, 2005: 2).
Prinsip  pembelajaran  karakter    merupakan  pembelajaran  yang  efektif   yang  harus
menempatkan peserta didik melakukannya, mereka harus diberi kesempatan untuk belajar secara
aktif  baik  pisik  maupun  mental.   Aktif  secara  mental  bila  peserta didik  aktif  berfikir  dengan
menggunakan pengetahuannya untuk mempersepsikan pengalaman yang baru disamping secara
fisik  dapat  diamati  keterlibatannya  dalam  belajar  sehingga    nilai  itu  telah  menjadi  bagian  dari
hidupnya.
Dalam  pembelajaran  nilai  ada  beberapa  hal  yang  perlu  diperhatikan  agar   pembelajaran
nilai dapat efektif yaitu perbuatan dan pembiasaan. Oleh karena dengan perbuatan  siswa dapat
secara langsung melakukan pengulangan perbuatan agar menjadi kebiasaan  (habit)  dan akhirnya
menjadi budaya. Atau  akhirnya menjadi  karakter yang menjadi bagian dari hidupnya.
Interaksi  antara  panutan  yang  memberi  keteladanan  pada  peserta  didik  dan  kondisi
lingkungan  yang  kondusif  untuk  pembelajaran    karakter  sangat   menguntungkan  untuk  tranfer
nilai melalui saling membagi dalam pengalaman.  Dosen yang baik juga dapat mengerti perasaan,
pemahaman,  jalan  pikiran  peserta  didik  dan  mereka  diberi  kesempatan  untuk
mengkomunikasikan  sekaligus  dapat  memberi  jalan  keluar  dalam  pergumulan  pemilihan  nilai
yang ada tanpa mengindoktrinasi.
Melalui  pemahaman  yang  mendalam  terhadap  materi  pembelajaran  nilai  pembentuk
karakter,  peserta  didik  dapat  memilih  berbagai  alternatif   nilai  yang  ada   dan  mengamalkan
sebagai ujud aktualisasi diri.    Dosen sebagai panutan yang meberi hidupnya bagi peserta didik
diharapkan  dapat  merefleksi  diri  melalui  perasaan  dan  pikirannya   setelah  merenung  dan
13
mendapat  masukan   sehingga  dapat  mngetahui sejauh  mana  pemahaman  dan  pengamalan  nilai
yang telah diterima dan dilakukan oleh mahasiswa PGSD calon guru.
Penutup
Pembentukan  karakter  sangat  tepat  dan  harus  dimulai  sejak  yunior.  Pembentukan
karakter  mahasiswa PGSD  paling tepat dilakukan  instruktur berpengalaman,  dosen  dan orangorang  yang  mempunyai  hubungan  dengan  mahasiswa.    Pendidikan  nilai  yang  diberikan  pada
mahasiswa,  akan  mengembangkan  suara  hati  peserta  didik  akan  lebih  kuat  dan   peka  terhadap
lingkungan.  Calon guru SD lebih mampu mengendalikan diri sesuai dengan nilai-nilai yang telah
membentuk karakternya.  Efektifitas pembentukan karakter  mahasiswa PGSD sangat bergantung
pada  komitment  dosen  pembimbing,  yang  menyadari  bahwa  tugas  institusi  membentuk
mahasiswa PGSD agar memiliki karekter yang baik.
Setiap   dosen dan pejabat PGSD  harus menyadari dan memiliki tanggung jawab.    bahwa
semua  civitas  akademika  mendapat  amanah  dan  harus  berkomitment  seumur  hidup  untuk
menumbuh  kembangkan karakter  yang baik bagi mahasiswa PGSD. Orang tua  mahasiswa juga
dipanggil  untuk  memiliki  komitment  seumur  hidup  sebagai  agent  perubahan  sesuai  dengan
panggilannya.  Dosen  senior  mempunyai  posisi  strategis  sebagai  pemimpin  sepatutnya
berkomitmen dalam mengembangkan dan menampilkan karakter-karakter yang ideal; luhur  baik
dan  cinta  terhadap  sesamanya.  Pemimpin  dipanggil   untuk  memiliki  dampak  luas  untuk
mempersiapkan Calon guru SD dalam konteks mempersiapkan generasi muda yang lebih baik.
Pentingnya dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan politik pendidikan, yang sudah
saatnya  tidak  mengkomersialisasikan  pendidikan  seperti  di  Amerika  tetapi  harus  merubah
kembali  orientasi  ke  humanisme  religius,   membangun  peradaban  lebih  baik  yang  akan
mempengaruhi karakter bagi calon guru SD. Kebijakan politik pendidikan harus dijabarkan dalam
tataran  UU  dan  implementasinya  pada  tataran  fraksis  lebih  oprasional,   yang  kondisif  bagi
pembangunan karakter bagi calon guru SD.
Pesan penulis bagi pakar pendidikan SD,  perlu dikaji ulang kebijakan politik  pendidikan
dasar agar melahirkan calon-calon guru SD yang memiliki karakter ramah dalam pembelajaran
terhadap anak SD seperti terjadi di sekolah dasar Eropa dan di adopsi oleh Romo Mangunwijaya,
sehingga  ke  dapan  akan  melahirkan  manusia  Indonesia  yang  humanis  dalam  membangun
peradaban bangsa lebih baik.
14
DAFTAR PUSTAKA
Andrik,  Menejemen  Komunikasi  Lintas  budaya  di  Tengah  dinamika  dan  Perubahan  Global,
Kedaulatan Rakyat, 10 Desember 2009:
Bobbi DePorter & Mike Hernacki, 2003. Quantum Learning. Jakarta.
Bruce H. Wilkinson. 1994. Teaching With Style. Temukan Apa yang murid Anda ingini
Budi  Istanto,  2007.  Pentingnya  Pendidikan  Moral  Bagi  Generasi  Penerus.  Yogyakarta:  FIP.
UNY.
Dirjen Dikti: Pengisian Borang PGSD, 2009
Eomi Toufiqoh, 2007. Pentingnya Pendidikan Moral, Yogyakarta: FBS, UNY.
Habibah,  Pendekatan transfer Nilai, FIP, UNY. 2007.
Hendrowibow, l. 2007. “Pendidikan Moral”, Majalah  Dinamika, FIP, UNY.
Jati diri seoronga guru, Google Internet, hari Selasa, 4 Mei 2010.
LAI, 2003,  Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Pengisian Borang PGSD (FIP UNY, 2010).
Sindunata, 2009. Mengenang YB Mangunwijaya ”Pergulatan Intelektual Dalam Kegelisahan” .
Yogyakarta: Kanisius.
Tan Giok Lie. 2007.  Pendidikan Dini: Pembentukan  Karakter Individu. Bandung: STT INTI.
Surat Kabar dan Majalah
Agus Pramusinto , Publik Opini Pendidikan, Kedaulatan Rakyat, 2 Mei 2010
Novi Maesaroh , Peneltian Pendidikan untuk Mahasiswa PGSD, Reality Magazine, 2010
Tajuk Rencana Kompas, 5 Mei 2010
Supriyadi Dr., Penghormatan kepada Dosen Senior, Kedaulatan Rakyat, 2 Mei 2010
Televisi
Kick Andy,  April 2010. Metro TV,
Rahmad Wahab, Mei 2010. Yogya TV
Wawancara dengan:
Afandi, H.  S.Pd. pada tanggal 3 Mei 2010.
Crismarantika, Dr. 2009. Dalam Orasinya tentang Pendidikan. Yogyakarta: GKN Babarsari.
Hartoyo, Dr. pada tanggal 2 Mei 2010
H. Sujati, M.Pd.  pada tanggal 3 Mei 2010
Pujiyono, M.Pd. pada tanggal 24 April 2010
Rony. pada tanggal 5 Mei 2010
T. Wakiman, M.Pd.  pada tanggal 3 Mei 2010
Sri Yuni, pada tanggal 2 Mei 2010
Biodata Penulis:
Sigit Dwi Kusrahmadi, lahir di Yogyakarta, 27 Juni 1957, menyelesaikan  S-1 di Fakultas Sastra
Jurusan  Sejarah  UGM,  dan  menyelesaikan  S-2  Sospol  Ketahanan  Nasional  UGM.  Sejak  tahun
l987 mengajar di MKU dan tahun 2003 pindah di  Jurusan Pendidikan Dasar dan Prasekolah (S-1
PGSD)  FIP UNY. Aktif menulis diberbagai Majalah Ilmiah di UNY.
15